Tuesday 19 February 2013

Membangun Tradisi Membaca dan Menulis di Kalangan Santri

Al-‘ilm-u shayd-un wa ‘l-kitābat-u qayduh.
– Al-Mahfūdzāt

Bila Anda tak menulis, Anda akan tersingkir dari peradaban.
– AG. Eka Wenats

Tradisi membaca dan menulis sebenarnya sudah melekat di kalangan santri sejak lama. Hal itu disebabkan “pergaulan” santri yang terbentuk dari berbagai bacaan dan hapalan di dalam kelas. Banyak untaian hikmah yang begitu indah yang bisa dijadikan sebagai dorongan untuk membaca dan menulis. Ungkapan di atas adalah salah satunya.

Kita bisa belajar dari Pramoedya Ananta Toer. Pram telah menghabiskan hampir separuh hidupnya di dalam penjara—3 tahun dalam penjara kolonial, 1 tahun di Orde Lama, dan 14 tahun di Orde Baru. Separuh hidupnya yang hampir dihabiskan di dalam penjara, tidak membuatnya berhenti sedikit pun untuk menulis. Baginya, menulis adalah tugas pribadi dan nasional.

Selain Pram, tentu saja ada penulis handal lain yang memiliki karya sesuai dengan bidangnya sendiri. Kita bisa memahami pikiran-pikiran para pendiri bangsa dari tulisan-tulisan mereka. Kita bisa membaca Demokrasi Kita yang ditulis Bung Hatta. Kita bisa membaca filsafat Islam melalui karangan yang ditulis Haji Agus Salim, M. Natsir, dan tokoh-tokoh lain. Kita bahkan bisa membaca secara langsung karya-karya para ilmuwan yang lahir dalam catatan sejarah pemikiran dunia Islam klasik dan lain sebagainya.


Salah satu faktor yang menjadikan mereka masih dikenang sampai saat ini adalah tulisan-tulisan mereka. Tulisan adalah fondasi awal untuk membangun tradisi ilmiah. Islam bahkan berkembang dan berhasil memiliki peradaban tinggi melalui tulisan. Dengan kata lain, peradaban Islam adalah peradaban tulisan. Kita tidak bisa membayangkan apa yang terjadi bila tradisi menulis di dunia Islam tidak pernah berkembang.

Saat ini, tradisi menulis di kalangan santri (Lebak, Banten) sejujurnya kurang berkembang. Sebagian besar masih berkutat dalam tradisi lisan atau pidato dan pengajian. Tradisi lisan dan pengajian memang telah memberikan kontribusi besar dalam sejarah kebangkitan Islam di Indonesia. Namun, tradisi menulis malah terabaikan. Meski begitu, tidak ada yang perlu disesali. Yang harus dilakukan para santri saat ini justru adalah membangkitkan kembali tradisi menulis.

Menulis bisa dimulai dari hal-hal sederhana. Kita bisa menuliskan apa yang kita dapatkan dari pergaulan kita sehari-hari. Sebagai contoh, kita bisa menuliskan aktivitas belajar, menanam, bermain musik, dan berolahraga para santri. Kita tak perlu membuat karya tulis yang begitu hebat seperti para pemikir besar. Kita hanya perlu merangkai kata sedikit demi sedikit untuk menuangkan gagasan-gagasan kita dengan latihan dan ketekunan. Dengan begitu, kemampuan menulis pun akan semakin terasah.

Menulis pada dasarnya adalah transformasi gagasan. Sehebat apa pun kecerdasan seseorang akan menjadi sia-sia bila ia tidak menuangkannya ke dalam sebuah tulisan. Tidak ada tulisan yang buruk. Yang ada hanyalah tulisan yang disusun tanpa kaidah bahasa yang baik. Karena itu, kita harus menggunakan kaidah Bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam latihan menulis.

Di mana kita akan memuat tulisan kita? Jangan khawatir! Sekarang begitu banyak media yang bisa menampung tulisan kita. Di pesantren, kita bisa memanfaatkan majalah dinding atau media-media lain yang terjangkau. Selain itu, kita juga bisa memuat tulisan kita di internet. Ada beberapa media gratis yang bisa dimanfaatkan seperti blogspot.com, wordpress.com, dan lain sebagainya. Yang penting, tulisan kita bisa dibaca orang lain.

Tentu saja kita membutuhkan bacaan luas untuk menulis. Sebab, penulis yang baik adalah pembaca yang baik. Kita tak akan pernah bisa menulis dengan baik bila kita tidak pernah membaca dengan baik. Selanjutnya kita diskusikan!

No comments: